Rupadatu
Minggu, 10 Maret 2013
Jumat, 22 Februari 2013
.1
Menerima semua yang tidak mampu kuubah mungkin caranya hanyalah beradaptasi sesegera mungkin.
Itu saja..mudah bukan?
Itu saja..mudah bukan?
Minggu, 25 November 2012
ngapak?
Suatu kali saya
pernah menonton acara komedi yang tayang setiap hari di salah satu stasiun televisi
swasta. Seorang artis cantik yang turut mengisi acara komedi tersebut berbicara
dengan logat ngapak (entah itu dibuat-buat atau tidak) yang membuat semua
penonton tertawa, lalu lawan mainnya yang tak lain adalah komedian yang sedang
naik daun saat ini spontan berkata “ Cantik- cantik kok ngomongnya ngapak sih?”
Mendengar pernyataan
komedian itu saya berteriak dalam hati “Oh Tuhan, ada apa ini? Apakah dialek
ngapak hanya milik orang-orang yang
berwajah jelek? Mengapa begitu terlihat aneh jika seorang figur publik yang
berbicara dengan dialek seperti itu?
Entahlah apa yang dipikirkan orang yang
spontan tertawa atau yang hanya ikut-ikutan tertawa saat mendengar seorang yang
berbicara dengan dialek Banyumasan dan Tegalan? Muncul begitu banyak pertanyaan
dalam benak saya. Apa yang lucu dari dialek yang sering disebut ‘’ngapak’’ ini?
Adakah yang hal salah dengan dialek ngapak? Mengapa begitu menggelitik untuk
kebanyakan orang?
Saya mengerti dalam kasus ini dialek
ngapak ditempatkan dalam situasi sebuah acara komedi (yang melalui humor
tersebut secara tidak sengaja turut merendahkannya) sehingga para komedian
berusaha membuat penontonya tertawa dengan lawakan yang terkadang tanpa etika.
Tetapi sadarkah kita bahwa sebagian besar masyarakat di kehidupan nyata juga
memperlakukan hal yang demikian, menertawakan bahasa Jawa dialek Banyumasan
ini?
Judul artikel Kompas, Senin 25 Juni
2012 di rubrik Pendidikan dan Kebudayaan yang berjudul “ Ngapak, Bukan Bahasa
Rendahan” yang ditulis oleh Purnawan Andra yang menjadi inspirasi saya dalam
menulis artikel perdana di blog ini sekaligus menyadarkan saya bahwa betapa
sempitnya cara pandang orang kebanyakan terhadap bahasa Jawa yang satu ini. Media
publikasi seperti televisi mungkin mempunyai peran paling besar yang
memosisikan dialek ngapak sebagai bahasa dari kalangan “babu”. Sehingga muncul
kesan bahasa ngapak adalah bahasa orang yang kasar, tidak “tinggi” sehingga
kurang pantas digunakan oleh mereka yang merasa dirinya elite.
Berdasarkan artikel yang dimuat di
koran Kompas dengan judul yang sama dijelaskan pula bahwa Ahmad Tohari (dalam
Ade 2009) menegaskan bahwa dialek Banyumasan adalah turunan asli dari bahasa
Jawa Kuno. Sejak berabad lampau, bahasa Jawa Kuno didominasi huruf vokal “a”,
berbeda dengan bahasa Jawa Jogja-Solo yang lebih didominasi oleh vokal “o”.
Bahasa Jawa dengan huruf vokal “o” (Jogja-Solo) adalah bahasa yang baru yang
sengaja dikembangkan Kerajaan Mataram sejak akhir abad ke-16. Hal ini ditandai
dengan digunakannya taling tarung (tanda baca untuk huruf vokal “o” untuk
aksara Jawa). Pengembangan bahasa baru ini menurut Tohari adalah bagian dari
politik penguasaan yang dilakukan Mataram terhadap wilayah Banyumas pada
masanya. Bahasa dipolitisasi sedemikian rupa untuk menciptakan kelas sosial
dengan menempatkan bahasa Jawa baru (vokal “o”) sebagai bahasa berkelas tinggi.
Bahasa kuno yang pada akhirnya nanti
berkembang menjadi dialek Banyumasan dan Tegalan adalah bahasa asli yang
digunakan petani dan pedagang. Jadi, bahasa ngapak bukan bahasa rendahan. Hal
ini juga ditegaskan Budiono Herususanto dalam Banyumas: Sejarah, Budaya dan
Watak (2008) yang antaralain mengatakan bahwa bahasa ngapak adalah istilah
bahasa Jawa Banyumasan yang dilansir para priyayi wetanan yang berbahasa Jawa
mbandhek.
Sikap dan politik bahasa dari
keraton itu tentu saja dilandasi semangat dominatif. Mereka yang dahulu
menguasai wilayah Banyumas dan sekitarnya mencoba mengidentikkan bahasa
Banyumas sebagai bahasa kelas dua. Masyarakat non ngapak seperti melakukan
eksklusivisme ke dalam dirinya sendiri, yang sebenarnya justru mempersulit
mereka untuk melakukan akulturasi, seperti dalam pola-pola segresi dalam
politik dan kebudayaan.
Mengetahui sejarah bahasa Jawa
dengan dialek ngapak yang ditulis di artikel tersebut membuat saya merasa malu
karena selama ini dalam pola pikir yang tertanam di otak dan hati saya ternyata
begitu terkotak-kotak. Pola pikir semacam ini tentu dipengaruhi oleh banyak
faktor, lingkungan, pergaulan, media publikasi. Terima kasih Tuhan karena telah
mebuka mataku dengan cara yang tidak pernah
saya duga, sekarang saya akan mulai mencoba untuk memandang sesuatu
secara jernih tidak hanya berhenti di sudut pandang kebanyakan orang yang
saking mapannya sampai lupa untuk dikoreksi kembali.
Teman-teman, keluarga atau siapapun
yang menggunakan dialek ngapak saya rasa tidak perlu kehilangan percaya diri
dan melupakan kearifan lokal yang sebagian tersimpan dalam bahasa asli anda
semua. Menurut pandangan saya, semua bahasa daerah entah itu bahasa Jawa Jogja,
Solo, Banyumas, Cilacap, Brebes, Cirebon, Jawa Timur atau bahasa-bahasa daerah lain,
tidak ada yang lebih rendah dari yang satu tapi yang pasti selalu ada yang
menarik.
Langganan:
Postingan (Atom)