Jumat, 22 Februari 2013

.1

Menerima semua yang tidak mampu kuubah mungkin caranya hanyalah beradaptasi sesegera mungkin.
Itu saja..mudah bukan?

Minggu, 25 November 2012

ngapak?


Suatu kali saya pernah menonton acara komedi yang tayang setiap hari di salah satu stasiun televisi swasta. Seorang artis cantik yang turut mengisi acara komedi tersebut berbicara dengan logat ngapak (entah itu dibuat-buat atau tidak) yang membuat semua penonton tertawa, lalu lawan mainnya yang tak lain adalah komedian yang sedang naik daun saat ini spontan berkata “ Cantik- cantik kok ngomongnya ngapak sih?” 
Mendengar pernyataan komedian itu saya berteriak dalam hati “Oh Tuhan, ada apa ini? Apakah dialek ngapak  hanya milik orang-orang yang berwajah jelek? Mengapa begitu terlihat aneh jika seorang figur publik yang berbicara dengan dialek seperti itu?

Entahlah apa yang dipikirkan orang yang spontan tertawa atau yang hanya ikut-ikutan tertawa saat mendengar seorang yang berbicara dengan dialek Banyumasan dan Tegalan? Muncul begitu banyak pertanyaan dalam benak saya. Apa yang lucu dari dialek yang sering disebut ‘’ngapak’’ ini? Adakah yang hal salah dengan dialek ngapak? Mengapa begitu menggelitik untuk kebanyakan orang? 

 Saya mengerti dalam kasus ini dialek ngapak ditempatkan dalam situasi sebuah acara komedi (yang melalui humor tersebut secara tidak sengaja turut merendahkannya) sehingga para komedian berusaha membuat penontonya tertawa dengan lawakan yang terkadang tanpa etika. Tetapi sadarkah kita bahwa sebagian besar masyarakat di kehidupan nyata juga memperlakukan hal yang demikian, menertawakan bahasa Jawa dialek Banyumasan ini?

Judul artikel Kompas, Senin 25 Juni 2012 di rubrik Pendidikan dan Kebudayaan yang berjudul “ Ngapak, Bukan Bahasa Rendahan” yang ditulis oleh Purnawan Andra yang menjadi inspirasi saya dalam menulis artikel perdana di blog ini sekaligus menyadarkan saya bahwa betapa sempitnya cara pandang orang kebanyakan terhadap bahasa Jawa yang satu ini. Media publikasi seperti televisi mungkin mempunyai peran paling besar yang memosisikan dialek ngapak sebagai bahasa dari kalangan “babu”. Sehingga muncul kesan bahasa ngapak adalah bahasa orang yang kasar, tidak “tinggi” sehingga kurang pantas digunakan oleh mereka yang merasa dirinya elite.

Berdasarkan artikel yang dimuat di koran Kompas dengan judul yang sama dijelaskan pula bahwa Ahmad Tohari (dalam Ade 2009) menegaskan bahwa dialek Banyumasan adalah turunan asli dari bahasa Jawa Kuno. Sejak berabad lampau, bahasa Jawa Kuno didominasi huruf vokal “a”, berbeda dengan bahasa Jawa Jogja-Solo yang lebih didominasi oleh vokal “o”. Bahasa Jawa dengan huruf vokal “o” (Jogja-Solo) adalah bahasa yang baru yang sengaja dikembangkan Kerajaan Mataram sejak akhir abad ke-16. Hal ini ditandai dengan digunakannya taling tarung (tanda baca untuk huruf vokal “o” untuk aksara Jawa). Pengembangan bahasa baru ini menurut Tohari adalah bagian dari politik penguasaan yang dilakukan Mataram terhadap wilayah Banyumas pada masanya. Bahasa dipolitisasi sedemikian rupa untuk menciptakan kelas sosial dengan menempatkan bahasa Jawa baru (vokal “o”) sebagai bahasa berkelas tinggi.

Bahasa kuno yang pada akhirnya nanti berkembang menjadi dialek Banyumasan dan Tegalan adalah bahasa asli yang digunakan petani dan pedagang. Jadi, bahasa ngapak bukan bahasa rendahan. Hal ini juga ditegaskan Budiono Herususanto dalam Banyumas: Sejarah, Budaya dan Watak (2008) yang antaralain mengatakan bahwa bahasa ngapak adalah istilah bahasa Jawa Banyumasan yang dilansir para priyayi wetanan yang berbahasa Jawa mbandhek.

 Sikap dan politik bahasa dari keraton itu tentu saja dilandasi semangat dominatif. Mereka yang dahulu menguasai wilayah Banyumas dan sekitarnya mencoba mengidentikkan bahasa Banyumas sebagai bahasa kelas dua. Masyarakat non ngapak seperti melakukan eksklusivisme ke dalam dirinya sendiri, yang sebenarnya justru mempersulit mereka untuk melakukan akulturasi, seperti dalam pola-pola segresi dalam politik dan kebudayaan.

Mengetahui sejarah bahasa Jawa dengan dialek ngapak yang ditulis di artikel tersebut membuat saya merasa malu karena selama ini dalam pola pikir yang tertanam di otak dan hati saya ternyata begitu terkotak-kotak. Pola pikir semacam ini tentu dipengaruhi oleh banyak faktor, lingkungan, pergaulan, media publikasi. Terima kasih Tuhan karena telah mebuka mataku dengan cara yang tidak pernah  saya duga, sekarang saya akan mulai mencoba untuk memandang sesuatu secara jernih tidak hanya berhenti di sudut pandang kebanyakan orang yang saking mapannya sampai lupa untuk dikoreksi kembali. 

  Teman-teman, keluarga atau siapapun yang menggunakan dialek ngapak saya rasa tidak perlu kehilangan percaya diri dan melupakan kearifan lokal yang sebagian tersimpan dalam bahasa asli anda semua. Menurut pandangan saya, semua bahasa daerah entah itu bahasa Jawa Jogja, Solo, Banyumas, Cilacap, Brebes, Cirebon, Jawa Timur atau bahasa-bahasa daerah lain, tidak ada yang lebih rendah dari yang satu tapi yang pasti selalu ada yang menarik.